Selamat datang di blog membangun peradaban. silahkan tulis kritik dan saran

Pages

Selasa, 17 April 2012

Sejarah Islam dan Demokrasi Di Indonesia


Oleh. Warsito, S.Pd, M.P.I
A.    Pendahuluan
Umat Islam sebagai penduduk mayoritas negara Indonesia memiliki peran dan potensi yang besar dalam mentukan arah perjalanan negara ini. Peran umat Islam begitu besar dalam pembelaan kepada negara, hal ini bisa dibuktikan dalam usaha mereka memperjuangkan negara ini. Darah pahlawan umat Islam untuk mencapai kemerdekaan begitu banyak, mulai perjuangan imam Bonjol, pangeran Diponegara, Hasanuddin sampai masa Jenderal Sudirman.
Setelah negara ini terbebas dari penjajahan, peran umat ini begitu besar dalam pembangunan negara. Jumlah umat Islam yang mayoritas merupakan potensi yang besar dalam membangun ekonomi, politik dan keamanan. Dalam bidang ekonomi mereka merupakan konsumen yang besar serta pembayar pajak yang aktif. Dalam bidang keamanan, umat Islam menjaga keharmonisan pemeluk agama lain di negara ini. Mereka menghormati pmeluk agama lain untuk menjalankan ajaran agama mereka. Dalam bidang politik, mereka memiliki hak suara untuk menentukan pengambil kebijakkan di negara ini. Begitu besar potensi umat ini dalam mengarahkan perkembangan negara menjadi sesuatu yang menarik untuk dibahas mengingat negara ini masih dalam multi krisis.
Hal-hal di atas yang menjadi latar belakang penulis menulis tema tentang Islam dan Demokrasi. Prinsip Islam yang menjadi rahmat dan agama yang solutif dan demokrasi yang memberi kebebasan dalam menampung pendapat menjadi sarana yang tepat untuk mengangkat negara ini sedrajat dengan negara-negara lain. Kemudian apa peran umat Islam sebagai penduduk mayoritas akan di bahas pada tulisan ini.  
B.     Pengertian Islam dan Demokrasi
Penegrtian Islam secara umum adalah beribadah kepada Allah dengan cara menjalankan syari’at-Nya sejak Allah mengutus para rasul sampai hari kiamat.[1] Beberapa ayat menjelaskan bahwa agama para nabi yang terdahulu juga Islam. Hal ini sebagaimana firman Allah
رَبَّنَا وَاجْعَلْنَا مُسْلِمَيْنِ لَكَ وَمِنْ ذُرِّيَّتِنَا أُمَّةً مُسْلِمَةً لَكَ  (128) }
   “Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) di antara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau …..” [2] Al-Baqarah 128
Pengertian Islam secara khusus setelah diutusnya Nabi Muhammad SWA adalah sebatas ajaran yang yang dibawa nabi Muhammad SAW, karena apa yang dibawa Nabi SAW menghapus seluruh ajaran para Nabi sebelumnya, maka orang yang mengikuti Nabi SAW disebut muslim dan orang yang menyelisihinya disebut kafir. Para pengikut nabi-nabi terdahulu adalah muslimin di zaman nabi mereka. Orang yahudi Muslim di zaman Nabi Musa AS dan nashara adalah muslim di zaman Nabi ‘Isa AS.[3]
Agama Islam merupakan satu-satunya agama yang resmi dihadapan Allah. Hal ini sebagaimana firman Allah:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللَّهِ الإسْلام
“Sesungguhnya agama (yang diridai) di sisi Allah hanyalah Islam”[4] Ali Imran 19
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الإسْلامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ (85) }
“Barang siapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi”.[5] Ali Imran 85
Pengertian Demokrasi, Demokrasi merupakan salah satu tatanan Negara yang di anggap paling tepat diterapkan untuk setiap Negara saat ini. Istilah Demokrasi berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari dua kata: demos (rakyat) dan kratos (kuasa). Jadi demokrasi adalah sebuah sistem masyarakat di mana rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi dalam pengambilan keputusan. Dalam demokrasi tidak ada aturan yang baku atau abadi, aturan masyarakat berkembang sesuai dengan perkembangan keinginan/pola pikir mayoritas rakyat. Sebagai contoh adalah perubahan tentang hukum homoseksual di Barat, dimana yang sebelumnya dilarang kemudian dibolehkan.[6]
Sebenarnya ada perbedaan yang mendasar antara Islam dan Demokrasi. Islam sebagai agama wahyu menetapkan bahwa kebenaran adalah apa yang benar menurut wahyu meskipun mayoritas orang menolak sedangkan kebenaran menurut Demokrasi adalah suara mayoritas meskipun bertentangan dengan wahyu. Tetapi dalam konteks negara indonesia yang menganut paham demokrasi, sistem ini merupakan keniscayaan yang harus dihadapi umat Islam. Ada beberapa celah dalam sistem demokrasi yang bisa dimanfaatkan umat Islam antara lain kesempatan memasukkan ajaran-ajaran Islam dalam undang-undang, adanya kebebasan untuk mendakwahkan Islam, dan adanya kesempatan untuk menguasai legislatif dan esekutif. Maka inilah hal yang bisa dimanfaatkan umat Islam untuk berjuang mendapatkan hak sebagai hamba Allah dan sebagai warga negara.
C.    Sejarah Tentang Hubungan Islam dengan Orde Baru
Hubungan antara Islam dengan penguasa Orde Baru tidaklah bergaris linear. Hubungan yang dikembangkan sering memojokkan umat Islam. Secara garis besar, hubungan itu dapat digambarkan ebagai berikut.
1.      Pertama, fase marjinalisasi (1968-1985). Dalam fase ini, keberadaan umat Islam sungguh sengsara. Umat Islam di anggap pembangkang dan semua gerakan mereka dicurigai. Berbagai monuver politik dan operasi intelijen dipakai untuk menghilangkan gerakan Islam, antara isu Komando Jihad, Golongan anti Pancasila, dan gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Ketika itu, Islam secara politik berada di tempat marjinal.
2.      Kedua, fase understanding (1986-1989). Hal ini ditandai oleh proses interaksi dan dialog antara kekuatan Islam (politik) dan pemerintah. Secara politik, kaum muslim terpelajar dan mempunyai komitmen keislaman, sudah mulai mengisi middle dan upper structure pemerintah. Simbol-simbol Islam mulai diperlihatkan, meskipun masih sebatas ritual-formalistik.
3.      Ketika, fase akomodasionis (1989-1998). Ditandai dengan berdirinya (ICMI) Ikatan Cendikiawan Muslim se-Indonesia dan mulai masuknya figur-figur muslim kedalam proses politik, dan sedikit banyak mempengaruhi policy pemerintah.[7]  
Menurut Aidul Fitri dosen pasca sarjana UMS, proses akomodasi ini berjalan setelah presiden Soeharto memindahkan dukungan dari sekuler-kristen-militer nasionalis kepada umat Islam dan partai Golkar. Pemindahan dukungan disebabkan perubahan politik global dan nasional. Di tingkat nasional, presiden Soeharto mengetahui skenario Amerika yang menyiapkan jenderal Benny Moedani yang beragama Katolik menjadi presiden setelah Soeharto. Hal ini yang menyebabkan Soeharto mengalihkan dukungan kepada umat Islam dalam bentuk, pembentukan ICMI, pengangkatan jenderal Faisal Tanjung yang berbasis pesantren sebagai Pangab, disetujuinya UU peradilan agama, dibukanya bank syari’ah, komplikasi hukum Islam, dll.[8]   
D.    Islam Sebagai Kekuatan Demokrasi
Secara teoritis, prinsip demokrasi yang memenangkan suara terbanyak menguntungkan umat Islam. Jumlah umat Islam terbesar di Indonesia yang membuat Islam menjadi kekuatan utama dalam proses demokratisasi di Indonesia, sehingga Indonesia menjadi negara demokrasi muslim terbesar di dunia dan negara demokrasi ketiga terbesar di dunia  setelah India dan AS. Pemilu tahun 1999 menjadi ujian bagi umat Islam dalam menentukan pilihan mereka, pada pemilu itu suara umat Islam terpecah belah. Dari 48 partai peserta pemilu 20 diantaranya partai Islam atau berbasis Islam. Sehingga partai-partai Islam mendapat sedikit-sedikit dan pemilu dimenangkan oleh PDIP. P.[9] 
Kekalahan ini menjadi bahan evaluasi para elit politik partai Islam untuk menentukan langkah mereka di MPR dan DPR. Persatuan para elit politik partai Islam nampak terbangun dengan dibentuknya poros tengah sehingga bisa memenangkan Gusdur dalam pemilihan di parlemen.[10] Tetapi dalam perjalannya, persatuan itu runtuh hal ini bisa dilihat dengan lengsernya Gudur dari kursi presiden dan naiknya Mega menjadi presiden yang ke-lima. Maka jumlah yang besar tidak berarti tanpa adanya persatuan para elit politik dan kesadaran arus bawah.
E.     Demokrasi Pasca Orde Baru dan Kebangkitan Politik Islam
Pada tanggal 20 januari 1968, elit politik Islam mendirikan Parmusi dengan lambang bulan dan bintang sebagai wahana untuk menghidupkan kembali Masyumi. Hal ini karena pada awal pemerintahannya, orde baru menampakan sikap welcome kepada partai politik sebagai kebalikan dari rezim sebelumnya. Tetapi harapan itu sirna ketika angkatan darat  mengadakan seminar di Bandung dan memutuskan untuk mengutamakan pembangunan ekonomi model otoritarian. Sejak saat itu militer berkepentingan memperoleh basis massa melalui partai politik guna melegitimasi rezim yang mereka bangun.[11] Sejak saat itu pemerintah menempatkan Islam sebagai ancaman dan melancarkan berbagai skenario supaya Islam tidak berkembang. Dan baru pada tahun 1990an Islam mendapat kelonggaran untuk bangkit.     
Kebangkitan politik Islam pasca orde baru tidak terlepas pada masa akomosasi Soeharto terhadap hak-hak umat Islam. Peristiwa yang besar dalam proses kebangkitan ini adalah berdirinya ICMI di Malang Jawa Timur pada 7 Desember 1990. ICMI mengklaim memiliki 40.000 anggota yang terebar di dalam negeri dan luar negeri. Selain memiliki jumlah yang besar, berdirinya ICMI didukung elit politik yang berkuasa di Indonesia. Mulai dari Presiden, wakil Presiden, menteri, anggota parlemen dan elit birokarsi. Hal ini sangat menggemparkan, karena pada tahun 70an sampai 80an umat Islam belum mendapat posisi di pemerintahan tetapi pada tahun 90an mereka mulai menempati posisi-posisi strategis dalam pemerintahan.[12]
Demokrasi pasca orde baru cukup terbuka bagi setiap kalangan warga negara. Momentum untuk membuat partai baru terbuka lebar ketika presiden Habibie memutuskan meninggalkan sistem “tri-partai” (Golkar, PPP, PDI), yang secara paksa diterapkan Soeharto selama hampir tiga dasawarsa. Pada saat itulah munculah partai-partai baru termasuk partai berbasis sistem atau mayarakat Islam. Hal ini diperkuat oleh pencabutan UU keormasan tahun 1985 tentang asas tunggal Pancasila. Perkembangan dan perubahan sosial politik bangsa Indonesia sangat mencolok, hal ini terlihat dari pendaftaran partai di departemen Kehakiman yang mencapai 141 partai. Dari jumlah itu, partai Islam berjumlah 40. Setelah masa penyeleksian, jumlah itu berkurang menjadi 48 partai yang didalamnya terdapat 20 partai Islam.[13]
Jumlah partai Islam yang banyak itu menunjukkan keseriusan umat Islam untuk memenangkan agama Islam sedangkan sisi negatifnya adalah perpecahan umat. Meskipun PDI.P menang dalam pemilu, para elit Islam masih menunjukkan kemampuan mereka dengan memenangkan Gusdur pada pemilihan presiden di parlemen. Hal ini menunjukkan kekuatan politik Islam sangat berpengaruh dalam perjalanan pemerintahan.
F.     Kemenangan Partai Islam
Sistem demokrasi di Indonesia pasca reformasi, sebenarnya memberikan kesempatan partai Islam untuk menang. Tetapi secara realitas perolehan partai Islam jauh di bawah partai-partai nasionalis. Tren penurunan suara parpol Islam juga menjadi persoalan internal partai, bahkan PBB dipastikan tidak ikut dalam pemilu 2014 setelah tidak mencapai batas minimal. Jumlah parpol Islam yang begitu banyak juga menjadi permasalahan umat Islam untuk mencapai kemenangan. Sebagai contoh, PKB Partai Kebangkitan Bangsa yang memiliki basis warga nahdiyin pada pemilu 1998 harus bersaing dengan saudara mereka partai SUNI Solidaritas Umat Nasional Indonesia pimpinan KH Abu Hasan; PNU partai Nahdatul Ummah pimpinan KH Syukron Makmun; dan PKU Partai Kebangkitan Ummat pimpinan KH Yusuf Hasyim, untuk mendapatkan suara dari anggota berjumlah 40 juta.[14] Bahkan sekarang dalam tubuh PKB pecah menjadi dua, PKB kubu Muhaimin dan PKB kubu Yenny.
Sikap masyarakat yang lebih memilih partai nasionalis dari partai Islam dan jumlah partai Islam yang banyak serta perpecahan yang terjadi di tubuh partai berbasis massa Islam merupakan indikasi bahwa secara demokrasi partai Islam tidak bisa atau belum bisa memenangkan pemilu di Indonesia.   
G.    Akomodasi Syari’ah
Meskipun partai Islam tidak bisa menang dalam pemilu, tetapi pertumbuhan jumlah UU berbasis syari’ah dan perda-perda syari’ah tumbuh bagus. Hal ini bisa dilihat pada UU perbankan berbasis Syari’ah, dijalankannya syari’at Islam di Aceh, perda syari’ah di Sumatra Barat, Jawa Barat, NTT dan lain-lain menunjukkan kebangkitan Islam yang bagus. Maka kemungkinan kembali kepada 7 kata piagam Jakarta sangat terbuka dengan melihat indikasi-indikasi di atas.[15]
H.    Penutup
Demokrasi memberikan ruang kepada umat Islam memperjuangkan dimasukkan ajaran-ajaran Islam ke dalam UU positif di Indonesia. Tetapi hal ini tidak diikuti tren akan menangnya partai-partai Islam. 





Daftar Pustaka

Al-Qur’an dan Terjemahan. Wakaf Raja Fahd bin Abdul Aziz Al Su’ud. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an. 1971
Aidul Fitriciada Azhari. Materi Kuliah Sejarah Peradaban Islam Indonesia Magister UMS. Bulan Desember 2010
Muhammad A.S. Hikam. 2000. Islam, Demokratisasi & Pemberdayaan Civil Society. Erlangga. Jakarta
M. Abdul Karim. Dkk. 2007. Wacana Politik Islam Kontemporer. Suka Press. Yogyakarta.
Daud Rasyid. 2001. Islam & Reformasi. Usamah Press. Jakarta.
A.M. Fatwa. 2000. Satu Islam Multiparti. Mizan. Bandung. Cet perama.
Adian Husaini. 2005. Wajah Peradaban Barat. Gema Insani. Jakarta.
Muhammad Shalih bin Utsaimin. 1997. Sarkhu Tsalatsatul Usul. Daru al-Tsariya. Saudi Arabiya. Cet ke-3.




[1] Muhammad Shalih bin Utsaimin. Sarkhu Tsalatsatul Usul. 1997. Daru al-Tsariya. Saudi Arabiya. Cet ke-3. Hal 20
[2] Al-Qur’an dan Terjemahan. Wakaf Raja Fahd bin Abdul Aziz Al Su’ud. Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir Al-Qur’an. 1971. Hal 33
[3] Muhammad Shalih bin Utsaimin. Hal 21
[4] Al-Qur’an dan Terjemahan. Hal 78
[5] Ibid. hal 90
[6] Adian Husaini. Wajah Peradaban Barat. 2005. Gema Insani. Jakarta. Hal 5
[7] A.M. Fatwa. Satu Islam Multiparti. 2000. Mizan. Bandung. Cet perama. Hal 38
[8] Aidul Fitriciada Azhari. Materi Kuliah Sejarah Peradaban Islam Indonesia. Bulan Desember 2010
[9] Azyumardi Azra dalam sambutan buku A.M. Fatwa. Hal 13
[10] Daud Rasyid. 2001. Islam & Reformasi. Usamah Press. Jakarta. Hal. 111
[11] M. Abdul Karim. Dkk. 2007. Wacana Politik Islam Kontemporer. Suka Press. Yogyakarta. Hal 25-26
[12] Muhammad A.S. Hikam. 2000. Islam, Demokratisasi & Pemberdayaan Civil Society. Erlangga. Jakarta. Hal 59
[13] Azyumardi Azra dalam sambutan buku A.M. Fatwa. Hal 12
[14] M. Abdul Karim. Dkk. Hal 84
[15] Aidul Fitriciada Azhari. Materi Kuliah Sejarah Peradaban Islam Indonesia Magister UMS. Bulan Desember 2010

2 komentar:

  1. Tapi Demokrasi bukan sebuah solusi untuk meningkatkan kebaikan yg ada di Indonesia ini khususnya dan dunia umumnya. Blm ada sejarahnya bilamana partai islam yg menang dia di ridloi oleh AS, sbg contoh Kemenangan Partai FIS (Mesir), Hamas (Palestina). Yg ada mrk diboikot oleh barat pdhl scr de Vacto mrk menang lwt demokrasi. Solusi yg soluktif adlh penegakan syare`at islam bil da`wah wal jihad... Allahuakbar..!!!

    BalasHapus
  2. Demokrasi itu bukan solusi tetapi realisasi pak guru. realita itu harus dihadapi!

    BalasHapus

Pendidikan Tinggi Bahasa Arab

Kegiatan Dakwah Masjid Zakaria

Info UMS