Selamat datang di blog membangun peradaban. silahkan tulis kritik dan saran

Pages

Rabu, 22 Agustus 2012

TUHAN TELAH MATI


TUHAN TELAH MATI
Studi Kritik Paham Humanisme

Warsito, S.Pd, M.P.I
Alumnus Progam Pasca Sarjana Pemikiran Islam UMS
Ketua Program SMP Muhammadiyah 8 Bina Unggul Putri

Pada hari kamis 2 Juli 2012, Solopos menerbitkan tulisan Muhammad Ali yang bertema agama. Sebuah tulisan yang menyerukan supaya agama dibingkai dengan humanisme. Penulis mengajak umat beragama untuk mendalami bahkan mempraktekan ide para pengkritik agama seperti Nietzsche dalam menjalankan kehidupan sosial. Ali berargumen bahwa agama sudah kehilangan fungsi untuk meluruskan ahklak manusia. Hal ini terbukti dengan meluasnya praktek korupsi, perzinaan, perkelahian dan peperangan antar etnis di tengah meningkatnya praktek keagamaan di Indonesia. Pembangunan tempat ibadah menjamur dimana-mana, kegiatan agama meningkat apalagi di bulan suci Romadhan, umat Islam berduyun-duyun mendatangi masjid. Tidak hanya umat Islam, kegiatan keagamaan umat kristen juga tidak kalah semarak. Kegiatan rohani setiap hari minggu berjalan ramai dan bahkan index jumlah pertambahan pemeluknya cenderung naik.
Logika humanisme yang tidak asing bagi mereka yang mempelajari peradaban Barat. Mereka menilai sebuah agama dengan tingkah laku pemeluknya tanpa memahami dimensi yang lainnya. Sebagian penganut humanisme mengatakan “lebih baik manusiawi tidak beragama daripada beragama tetapi tidak manusiawi”. Sebuah logika untuk menjatuhkan nilai agama. Mungkin tanpa disadari oleh Ali bahwa perjalanan sejarah Humanisme telah menyeret Barat dari Teosentris (Tuhan menjadi pusat) menjadi antroposentris (manusia sebagai pusat). Sebuah pemikiran yang mengarahkan orang pada sikap anti Tuhan atau ateis. Hal ini sebagaimana yang dikatakan Nietzsche bahwa Tuhan telah mati. (Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat, hal, 86).
Dalam sejarah peradaban keagamaan Barat, orang menyebut masa kejayaan gereja sebagai The Darkness Age (masa kegelapan Barat). Kebijakkan gereja dalam mengeluarkan surat ampunan, intervensi gereja dalam ilmu pengetahuan yangmembuat galileo dan galilea dihukum, progam Inkuisisi yang menelan ribuan pemeluk Protestan maupun Katolik dan masalah yang lain telah menimbulkan protes terhadap agama. Hal ini yang memicu supaya agama tidak masuk wilayah publik dan negara, agama hanya dibatasi di dalam gereja. (sekuler) (Dr. Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat). Hal ini tentu berbeda dengan Islam, di masa kejayaannya, agama menjadi undang-undang positif negara dan tidak ada yang protes terhadap kebijakkan-kebijakkanya. Bahkan ketika kekhilafan runtuh pada 1924 M, sekelompok umat Islam berusaha menegakkan Negara berdasarkan syari’at Islam. Lihat jama’ah Ikwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Al-Bana di Mesir, Hizbut Tahrir, Al-Qaidah, atau di Indonesi ada Majelis Mujahidin Indonesia yang berjuang tegaknya negara Islam dengan Syari’at Islam sebagai landasannya.  
Selain pendekatan historis yang menolak konsep membingkai agama dalam humanisme, secara normatif, Humanisme telah gagal membentuk masyarakat di Barat. Ajakan humanisme yang mengarah pada penolakan agama dan pensucian Tuhan telah menjauhkan masyarakat Barat dari moral itu sendiri. Konsep Humanisme telah melahirkan hak-hak manusia yang merusak manusia, pembolehan aborsi, lesbian, seks bebas, nikah lintas agama, dan hak-hak yang lain. Hal ini terjadi karena konsep ini tidak memiliki pijakkan untuk menetapkan batasan kebaikan dan keburukan. Humanisme yang telah mengorak-arik tatatan moral tanah kelahirannya kini dibawa ketimur untuk diajarkan. Prof Naquib Al-Atas ketika memberi komentar tentang ajaran Barat yang berlandaskan pikiran manusia serta sekuler ini mengatakan bahwa mungkin tidak ada tantangan yang lebih serius dan merusak dari pada ajaran Barat hari ini. (lihat Adian)
Dalam Islam, batasan kebaikan dan keburukan sudah sangat jelas. Islam telah melarang hal-hal yang membahayakan seorang muslim sebagai individu ataupun makhluk sosial. Islam telah mengharam free sex sebagai bagian mensucikan diri dan menjaga nasab serta keharmonisan sosial. Meskipun sudah menjadi gaya hidup di Barat, pola free sex telah mengancam kehidupan keluarga. Hal ini bisa dilihat pada kasus perceraian dimana lima puluh persen pernikahan berakhir karena perselingkuhan. (Shahid Athar, Bimbingan Seks bagi Kaum Muda Muslim, Jakarta: Pustaka Zahra, 2004, cet ke-dua, hal. 14) Tidak kalah heboh dari free sex adalah aborsi. Jumlah aborsi menurut data Centers for Disease Control (CDC) antara tahun 2000-2005 sekitar 850.000 setiap tahun. Data ini merupakan aborsi yang dilakukan secara legal padahal aborsi yang dilakukan secara illegal diperkirakan berjumlah lebih banyak. Jumlah aborsi yang terus meningkat menyebabkan Barat mengalami penurunan jumlah penduduk atau mereka mengatakan Aging Europe. Hal ini tentu berbeda dengan Islam yang mengharamkan aborsi, masa regenerasi penduduk dalam masyarakat Islam berjalan lancar. Kekwatiran peningkatan jumlah penduduk tidak sebanding dengan jumlah produksi makanan tidak terbukti. Bahkan menurut FAO (Food & Agricultural Organisation) yang menyatakan bahwa dunia mengalami surplus makanan pada tahun 1990.
Pada tulisan ini, penulis menyimpulkan bahwa membingkai agama dalam humanisme adalah konsep yang ga jelas karena menggabungkan dua kutub yang berbeda. Humanisme lebih dekat pada ateis sedangkan agama lebih dekat pada ketuhanan. Humanisme dengan segala propagandanya tidak mampu mewujudkan masyarakat ideal tetapi justru malah merusak masyarakat sedang Islam dengan segala aturannya telah mampu menekan angka kejahatan dan menjadikan masyarakat lebih harmonis. Konsep humanisme yang terstruktur dari pemikiran Barat kadang berbenturan dengan kultur di Timur. Sejarah keagamaan Barat yang menjadikan masyarakat trauma dan anti aturan-aturannya tidak bisa dijadikan dasar mengubah pondasi agama Islam yang memiliki masa lalu yang baik.
Inilah hal-hal yang menjadi dasar penolakkan penulis pada konsep membingkai agama dengan humanisme ala Muhammad Ali.

Pendidikan Tinggi Bahasa Arab

Kegiatan Dakwah Masjid Zakaria

Info UMS