PERNIKAHAN LINTAS AGAMA MENURUT ISLAM
Oleh, Warsito, S.Pd., M.P.I.
Pandangan
Islam tentang pentingnya agama melahirkan hukum pernikahan antara umat Islam dengan
pemeluk agama yang lain.[1]Pernikahan
lintas agama yang telah ulama rumuskan hukum dan syaratnya ini telah berjalan
dalam peradaban dan undang-undang Islam selama berabad-abad. Pada masa sekarang
ini, hukum pernikahan ini kembali marak dibahas dengan munculnya beberapa
penulis yang mengaku muslim dan memunculkan sistematika baru untuk menghalalkan
pernikahan lintas agama secara mutlak. Salah satu penulis itu adalah Suhadi yang menulis buku berjudul Kawin Lintas Agama Perspektif
Kritik Nalar Islam.
Suhadi
memakai metode yang sederhana ketika membolehkan pernikahan lintas agama.
Pertama, dia meragukan bahwa Al-Qur’an murni wahyu dari Allah. Dia mengatakan
bahwa penulisan wahyu banyak dipengaruhi oleh pemahaman dan kepentingan Nabi
SAW dan para sahabatnya. Langkah kedua Suhadi adalah menetapkan hukum nikah
lintas agama boleh secara mutlah karena Al-Qur’an yang melarang dan diyakini
suci oleh umat Islam sebenarnya tidak suci dan sakral. Pendapat Suhadi yang
bodoh ini hanya berlandasan pendapat pada Arqun tentang desakralisasi
Al-Qur’an.[2]
Pendapat
Suhadi yang diada-adakan ini sangat lemah sekali. Sebuah pertanyaan sudah cukup
untuk menjatuhkan pendapat ini. Bagaimana seorang Arqun yang kebaikan, moral
dan keilmuannya belum ada yang membuktikan kapasitasnya lebih dipercaya
daripada orang pertama yang menerima wahyu, dibuktikan secara sejarah, serta
terpercaya yaitu Nabi SAW? Jadi Suhadi berpendapat bahwa Nabi SAW berbohong
sedang pendapat Arqun benar. Bagaimana firman Allah dalam surat Al-Haqqah ayat
40-46 yang menceritakan kemurnian Al-Qur’an diragukan oleh teori Arqun. Allah
berfirman:
“sesungguhnya ia (Al-Qur’an) benar-benar wahyu (yang
diturunkan kepada) Rasul yang mulia. (40) dan ia bukanlah perkataan seorang
penyair, sedikit sekali kamu beriman kepadanya. (41) dan bukan pula perkataan
tukang tenung, sedikit sekali kamu mengampil pelajaran darinya.(42) ia
(Al-Qur’an) adalah wahyu yang diturunkan dari Tuhan seluruh alam. (43) dan
sekiranya dia (Muhammad) mengada-adakan sebagian perkataan atas Kami. (44)
pasti Kami pegang dia pada tangan kanannya. (45) kemudian Kami potong pembuluh
jantungnya. (46).
Beberapa masalah pernikahan lintas agama yang
akan disajikan dalam pembahasan ini, antara lain;
a.
Pernikahan perempuan muslimah dengan laki-laki non muslim.
Pernikahan
lintas agama antara muslimah dengan non muslim yang sering terjadi pada
akhir-akhir ini hukumnya haram. Ulama telah sepakat menetapkan haramnya pernikahan
ini, baik laki-laki itu ahlu kitab maupun penyembah berhala.[3]
Pendapat ulama ini berdasarkan surat al-Mumtahanah ayat 10.
“Wahai orang-orang yang beriman! Apabila
perempuan-perempuan mukmin datang berhijrah kepadamu, maka hendaklah kamu uji
(keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; jika kamu
telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu
kembalikan merekaa kepada orang-orang kafir (suami-suami mereka). Mereka tidak
halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tidak halal bagi
mereka…”
Pengharaman
pernikahan antara muslimah dan laki-laki musryik juga Allah tegaskan dalam
surat Al-Baqarah ayat 221.[4]
Laki-laki musryik ini mencakup seluruh laki-laki yang tidak beragama Islam,
baik mereka Yahudi, Kristen, Majusi, penyembah berhala atau seseorang yang
telah murtad.[5]
b.
Laki-laki muslim dengan perempuan musyrik.
Para
ulama sepakat mengharamkan laki-laki muslim menikah dengan perempuan penyembah
berhala (musyrik) sampai mereka beriman.[6]
Pengharaman pernikahan seorang muslim dengan perempuan musyrik Allah tegaskan
dalam surat Al-Mumtanah ayat ke-sepuluh. Allah berfirman:
وَلا
تُمْسِكُوا بِعِصَمِ الْكَوَافِر
Artinya:
“Dan janganlah
kamu tetap berpegang pada tali (pernikahan) dengan perempuan-perempuan kafir…”
Ketika
ayat ini turun, Umar langsung menceraikan dua istrinya yang masih kafir.
Kemudian salah satu dari mantan istri Umar ini menikah dengan Mu’awiyah bin Abi
Sofyan yang ketika itu ia masih kafir.[7]
Pengharaman pernikahan dengan seorang perempuan musyrik memiliki beberapa
hikmah. Salah satu hikmahnya adalah seorang perempuan musyrik dengan segala
potensinya akan mempengaruhi cara pandang dan keinginan seorang muslim untuk
melakukan kemaksiatan, sedangkan Allah menyeru umat Islam untuk berusaha kearah
surga-Nya.[8]
c.
Laki-laki muslim dengan perempaun Ahlu Kitab
Pada
dasarnya laki-laki muslim diperbolehkan menikahi perempuan Ahli Kitab.[9]
Pendapat para ulama ini berdasarkan surat Al-Maidah ayat 5. Istilah Ahlu Kitab
mencakup dua agama besar yaitu Yahudi dan Nashara.[10]
Dalam perkembangan umat Islam di Indonesia, MUI dan Muhammadiyah mengharamkan
pernikahan lintas agama. Pada tanggal 1 Juni 1980 Majelis Ulama Indonesia (MUI)
mengeluarkan fatwa pengharaman kawin lintas agama. Pendapat MUI ini berdasarkan
masalih al-mursalah, yakni demi kepentingan masyarakat Islam.[11]
Pendapat
sama juga dikeluarkan oleh Muhammadiyah. Pendapat Muhammadiyah ini didasarkan
pada kaidah saddu adz-dzara’I muqaddamu ‘ala jalbi al-maslahi (menghindari
kerusakan itu harus didahulukan dari pada mengambil kemaslahatan). Pemakaian
kaidah ini berdasarkan realitas di masyarakat dimana agama anak biasanya
mengikuti agama ibunya.[12]
[1]
Salah satu ayat yang membahas ini adalah Al-Baqarah: 221 “Dan janganlah kamu
nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya yang
beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang
beriman) sebelum mereka beriman.
Sungguh, hamba sahaya yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik
meskipun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak
ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan aya-ayat-Nya kepada
manusia agar mereka mengambil pelajaran”.
[2] Suhadi, Kawin
linas Agama Perspektif Kritik Nalar Islam, Yogyakarta: LkiS, 2006, cetakan
pertama, hal.76. dia berkata tentang penulisan Al-Qur’an: “Muhammad dan para sahabat
benar-benar telah berperan di dalam ikut mengkontruksi model pesan wahyu yang
akan dimunculkan dalam Al-Qur’an”. Lihat Mana’ Al Qathon, Fi Ulumil Qur’an, Beirut:
Resalah Publisher. 1998, hal. 16. Ia mendefinisikan Al-Qur’an adalah perkataan
Allah yang diturunkan kepada Nabi SAW dan menbacanya ibadah. Ulama telah
sepakat bahwa Al-Qur’an adalah perkataan yang tidak ada campur tangan orang.
Lihat juga tantangan Allah kepada manusia untuk mendatangkan surat saja seperti
Al-Qur’an niscaya manusia tidak akan mampu. Lihat surat Al-Baqarah ayat:23
[3] Suhadi,
Kawin linas Agama…, hal. 36. Lihat juga Abu Malik Kamal bin Sayyid
Salim, Shohih Fiqhu As-Sunnah, Mesir: Maktabah At-Takwifiyah, tt, Juz
Ketiga, hal. 93
[4] “Dan
janganlah kamu nikahkan orang musrik sebelum mereka beriman…”
[5] Murtad
adalah orang yang keluar dari agama Islam. Cakupan kata musrik yang mencakup
seluruh orang yang tidak beragama Islam ini sebagaimana yang disampaikan
Muhammad ‘Ali As-Shobuni, Tafsir Ayatul Al-Ahkam Min Al-Qur’an, Beirut:
Daru Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1999, Jilid pertama, hal. 205
[6] Ibnu
Rusyd, dalam Suhadi, Kawin linas Agama … hal. 37. Pendapat ulama yang
mengharamkan pernikahan dengan orang-orang musryik penyembah berhala
berdasarkan firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 221
[7] Abu
Malik Kamal bin Sayyid Salim, Shohih Fiqhu As-Sunnah, Mesir: Maktabah
At-Takwifiyah, tt, Juz Ketiga, hal. 92
[8] Salah
satu alasan pengharaman pernikahan ini Allah tegaskan dalam QS Al-Baqarah ayat
221 dan diulas ulang oleh Muhammad ‘Ali As-Shabuni dalam kitab beliau, Tafsir
Ayatul Al-Ahkam..., hal. 201
[9]
Muhammad ‘Ali As-Shabuni, Tafsir Ayatul Al-Ahkam…, hal 203.
[10] Suhadi,
Kawin Lintas Agama..., hal. 39.
[11] Suhadi,
Kawin Lintas Agama..., hal. 46.
[12] Suhadi,
Kawin Lintas Agama..., hal. 48.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar