Selamat datang di blog membangun peradaban. silahkan tulis kritik dan saran

Pages

Kamis, 27 April 2017

TIDAK SAH-NYA SHOLAT TANPA MEMBACA AL-FATIHAH



BAGIAN KE-DUA

Bulletin suara pembaharuan kali ini datang dengan judul yang berseberangan dengan judul sebelumnya. Judul yang mungkin saja membuat suntuk, lantas suntuk yang seperti apa? Suntuk yang dapat diartikan perasaan tidak nyaman karena memiliki keyakinan yang berbeda. Penulis sengaja mendahulukan judul sah-nya sholat tanpa membaca al-fatihah karena penulis menyadari mayoritas masyarakat Solo dan sekitarnya memiliki pemahaman yang berkebalikan. Tujuan utamanya supaya kita mengetahui bahwa pendapat yang  belum tentu salah, tetapi  merupakan puncak dari totalitas ulama dalam menyimpulkan hukum dari qur’an dan hadist. Artinya bukan pikiran liar tanpa kendali. Sekarang tiba saatnya judul yang sesuai dengan  pemahaman kita, sholat tidak sah tanpa membaca al-fatihah. Hal ini merupakan pendapat mayoritas ulama yakni Imam Malik, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad. Dalam pemilihan hukum yang terdapat perbedaannya, memilih pendapat mayoritas lebih dianjurkan. Akan tetapi mengetahui dasar hukum dan cara menyimpulkan hukumnya adalah wajib, berikut ulasannya.

“SAH-NYA SHOLAT TANPA MEMBACA AL-FATIHAH”

BAGIAN PERTAMA

Pembahasan masalah fikih amaliyah pada dasarnya telah selesai dibahas para ulama terdahulu berdasarkan pada dalil Qur’an dan hadist. Hari ini, umat Islam disajikan berbagai aneka menu pendapat yang lengkap dengan dalil-dalil untuk dipilih. Salah satu pandangan yang kurang tepat, jika kita mengatakan bahwa hukum Islam ini dibuat oleh empat imam madzhab besar. Ke-empat imam tersebut yakni; Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I dan Imam Ahmad. Dalam dunia Islam, para ulama menyakini bahwa mereka tidak membuat ajaran, tetapi mereka hanya merumuskan hukum-hukum yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadist dengan metode penyimpulan yang berbeda, sehingga terjadi perbedaan yang bisa ditoleran. Imam Malik berkata, “semua pendapat boleh ditolak selain pendapat penghuni kuburan ini”, (sambil beliau menunjuk kuburan Nabi Muhammad SAW). Sementara Imam Syafi’I berkata, “jika pendapatku menyelisihi hadist yang shohih, maka pada dasarnya hukum dalam hadist yang shohih itu adalah pendapatku”. Perkataan itu menunjukkan bahwa tidak ada hukum yang mereka tetapkan, melainkan hasil usaha maksimal dalam menyimpulkan seluruh ayat dan hadist yang mereka ketahui.

Pendidikan Tinggi Bahasa Arab

Kegiatan Dakwah Masjid Zakaria

Info UMS