TUHAN
TELAH MATI
Studi
Kritik Paham Humanisme
Warsito,
S.Pd, M.P.I
Alumnus
Progam Pasca Sarjana Pemikiran Islam UMS
Ketua
Program SMP Muhammadiyah 8 Bina Unggul Putri
Pada
hari kamis 2 Juli 2012, Solopos menerbitkan tulisan Muhammad Ali yang bertema
agama. Sebuah tulisan yang menyerukan supaya agama dibingkai dengan humanisme.
Penulis mengajak umat beragama untuk mendalami bahkan mempraktekan ide para
pengkritik agama seperti Nietzsche dalam menjalankan kehidupan sosial. Ali
berargumen bahwa agama sudah kehilangan fungsi untuk meluruskan ahklak manusia.
Hal ini terbukti dengan meluasnya praktek korupsi, perzinaan, perkelahian dan
peperangan antar etnis di tengah meningkatnya praktek keagamaan di Indonesia.
Pembangunan tempat ibadah menjamur dimana-mana, kegiatan agama meningkat apalagi
di bulan suci Romadhan, umat Islam berduyun-duyun mendatangi masjid. Tidak
hanya umat Islam, kegiatan keagamaan umat kristen juga tidak kalah semarak.
Kegiatan rohani setiap hari minggu berjalan ramai dan bahkan index jumlah
pertambahan pemeluknya cenderung naik.
Logika
humanisme yang tidak asing bagi mereka yang mempelajari peradaban Barat. Mereka
menilai sebuah agama dengan tingkah laku pemeluknya tanpa memahami dimensi yang
lainnya. Sebagian penganut humanisme mengatakan “lebih baik manusiawi tidak
beragama daripada beragama tetapi tidak manusiawi”. Sebuah logika untuk
menjatuhkan nilai agama. Mungkin tanpa disadari oleh Ali bahwa perjalanan
sejarah Humanisme telah menyeret Barat dari Teosentris (Tuhan menjadi
pusat) menjadi antroposentris (manusia sebagai pusat). Sebuah pemikiran
yang mengarahkan orang pada sikap anti Tuhan atau ateis. Hal ini sebagaimana
yang dikatakan Nietzsche bahwa Tuhan telah mati. (Dr. Hamid Fahmi Zarkasyi, Misykat,
hal, 86).
Dalam
sejarah peradaban keagamaan Barat, orang menyebut masa kejayaan gereja sebagai The
Darkness Age (masa kegelapan Barat). Kebijakkan gereja dalam mengeluarkan
surat ampunan, intervensi gereja dalam ilmu pengetahuan yangmembuat galileo dan
galilea dihukum, progam Inkuisisi yang menelan ribuan pemeluk Protestan
maupun Katolik dan masalah yang lain telah menimbulkan protes terhadap agama.
Hal ini yang memicu supaya agama tidak masuk wilayah publik dan negara, agama
hanya dibatasi di dalam gereja. (sekuler) (Dr. Adian Husaini, Wajah
Peradaban Barat). Hal ini tentu berbeda dengan Islam, di masa kejayaannya,
agama menjadi undang-undang positif negara dan tidak ada yang protes terhadap
kebijakkan-kebijakkanya. Bahkan ketika kekhilafan runtuh pada 1924 M,
sekelompok umat Islam berusaha menegakkan Negara berdasarkan syari’at Islam.
Lihat jama’ah Ikwanul Muslimin yang didirikan oleh Hasan Al-Bana di Mesir,
Hizbut Tahrir, Al-Qaidah, atau di Indonesi ada Majelis Mujahidin Indonesia yang
berjuang tegaknya negara Islam dengan Syari’at Islam sebagai landasannya.
Selain
pendekatan historis yang menolak konsep membingkai agama dalam humanisme,
secara normatif, Humanisme telah gagal membentuk masyarakat di Barat. Ajakan
humanisme yang mengarah pada penolakan agama dan pensucian Tuhan telah
menjauhkan masyarakat Barat dari moral itu sendiri. Konsep Humanisme telah
melahirkan hak-hak manusia yang merusak manusia, pembolehan aborsi, lesbian,
seks bebas, nikah lintas agama, dan hak-hak yang lain. Hal ini terjadi karena
konsep ini tidak memiliki pijakkan untuk menetapkan batasan kebaikan dan
keburukan. Humanisme yang telah mengorak-arik tatatan moral tanah kelahirannya
kini dibawa ketimur untuk diajarkan. Prof Naquib Al-Atas ketika memberi
komentar tentang ajaran Barat yang berlandaskan pikiran manusia serta sekuler
ini mengatakan bahwa mungkin tidak ada tantangan yang lebih serius dan merusak
dari pada ajaran Barat hari ini. (lihat Adian)
Dalam
Islam, batasan kebaikan dan keburukan sudah sangat jelas. Islam telah melarang
hal-hal yang membahayakan seorang muslim sebagai individu ataupun makhluk
sosial. Islam telah mengharam free sex sebagai bagian mensucikan diri dan
menjaga nasab serta keharmonisan sosial. Meskipun sudah menjadi gaya hidup di
Barat, pola free sex telah mengancam kehidupan keluarga. Hal ini bisa dilihat
pada kasus perceraian dimana lima puluh persen pernikahan berakhir karena
perselingkuhan. (Shahid Athar, Bimbingan Seks bagi Kaum Muda Muslim, Jakarta:
Pustaka Zahra, 2004, cet ke-dua, hal. 14) Tidak kalah heboh dari free sex
adalah aborsi. Jumlah aborsi menurut data Centers for Disease Control (CDC)
antara tahun 2000-2005 sekitar 850.000 setiap tahun. Data ini merupakan aborsi
yang dilakukan secara legal padahal aborsi yang dilakukan secara illegal
diperkirakan berjumlah lebih banyak. Jumlah aborsi yang terus meningkat
menyebabkan Barat mengalami penurunan jumlah penduduk atau mereka mengatakan Aging
Europe. Hal ini tentu berbeda dengan Islam yang mengharamkan aborsi, masa
regenerasi penduduk dalam masyarakat Islam berjalan lancar. Kekwatiran
peningkatan jumlah penduduk tidak sebanding dengan jumlah produksi makanan
tidak terbukti. Bahkan menurut FAO (Food & Agricultural Organisation) yang
menyatakan bahwa dunia mengalami surplus makanan pada tahun 1990.
Pada
tulisan ini, penulis menyimpulkan bahwa membingkai agama dalam humanisme adalah
konsep yang ga jelas karena menggabungkan dua kutub yang berbeda. Humanisme
lebih dekat pada ateis sedangkan agama lebih dekat pada ketuhanan. Humanisme
dengan segala propagandanya tidak mampu mewujudkan masyarakat ideal tetapi
justru malah merusak masyarakat sedang Islam dengan segala aturannya telah
mampu menekan angka kejahatan dan menjadikan masyarakat lebih harmonis. Konsep
humanisme yang terstruktur dari pemikiran Barat kadang berbenturan dengan
kultur di Timur. Sejarah keagamaan Barat yang menjadikan masyarakat trauma dan
anti aturan-aturannya tidak bisa dijadikan dasar mengubah pondasi agama Islam
yang memiliki masa lalu yang baik.
Inilah hal-hal yang
menjadi dasar penolakkan penulis pada konsep membingkai agama dengan humanisme ala
Muhammad Ali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar