“Yang Islami” Melanggar Syar’i
Semangat kaum muslim
Indonesia untuk menampakkan sisi keislaman dalam kehidupan sehari-hari
mengalami peningkatan yang tajam. Dari mulai pemakaian hijab, pemberian nama
Arab pada anak dan juga pemanggilan Umi kepada ibu-ibu keluarga muslim. Hari
ini, hampir bisa kita pastikan bahwa penyebutan umi untuk memanggil
seorang ibu berasal dari keluarga muslim, lebih special lagi, sudah masuk pada tingkatan keluarga
ustad atau activist muslim. Bahkan seolah-olah, panggilan itu (umi)
adalah panggilan yang islami karena sudah menjadi tradisi yang dilakukan oleh sebagian
besar keluarga muslim.
Panggilan terhadap
ibu yang pernah dipopulerkan oleh Hadad Alwi dan Sulis ini, ternyata menjadi
permasalahan yang besar bagi orang Arab dan tentunya Syari’at Islam. Saya
sendiri baru menyadari pada tahun 2007 an, ketika saya dan teman saya dr. Ihsan
Jaya mengadakan halaqah bersama Syaikh Mesir yang ditugaskan Al Azhar
University di Pon Pes As Salam.
Di salah satu kunjungan kami kerumah beliau,
Syaikh Ahmad menceritakan bahwa beliau pernah berkunjung di salah satu rumah
seorang aktivis Islam, beliau sangat kaget, ketika ikhwan itu memanggil
istrinya dengan sebutan umi. Beliau langsung menegur ikwan tersebut bahwa
panggilan ummi oleh suami kepada istrinya adalah dhihar yang
dilarang dalam Islam.
Dhihar adalah salah satu cara orang Arab
jahiliyah menceraikan istri-istri mereka dengan mengatakan bahwa kamu seperti
punggung Ibuku. Istilah dhihar berasal dari kata dhuhrun (yang
berarti punggung). Karena punggung seorang Ibu haram bagi anak, maka ketika
seorang suami menyamakan istrinya dengan punggung Ibu mereka, berarti dia
mengharamkan istri baginya yang berarti cerai. Dalam Islam, tingkatan dhihar
tidak sampai pada derajat cerai, karena suami tidak bermaksud menceraikan,
tetapi Islam tetap menghukum suami yang melakukan dhihar dengan
mewajibkan membayar kafarah berupa pembebasan budak, jika tidak
mendapatkan budak (apalagi zaman sekarang) maka ia harus berpuasa dua bulan
terus-menerus tanpa ada jeda, jika tidak mampu, maka ia harus memberi makan 60
orang miskin. Ada catatan menarik dari kafarah ini, ketiga jenis kafarah ini
bukanlah pilihan, melainkan urutan yang artinya, jika mendapat dan mampu
membebaskan budak ia tidak boleh memilih nomor 2 apalagi nomor 3.
Tidak kah sudah
menjadi kebiasaan orang Indonesia, seorang suami memanggil istrinya dengan
berkata: “bune, buk e, mama, mbok e, emak e”. mungkin sebagian kita berfikir
seperti itu. Lalu apa yang salah, memanggil istri dengan berkata “ummi”?
bagi yang belajar bahasa Arab, tentu sangat mudah membedakan antara ummu
dan ummi. Panggilan umi tidak bisa disamakan dengan panggilan
“bune, buk e, mama, mbok e atau panggilan yang lain dalam tradisi orang
Indonesia”. Apa bedanya? Di dalam kata ummi, terdapat huruf “ي“ yang paling tepat diartikan ku dalam
bahasa Indonesia. Kata yang sepadan dengan ummi adalah mamaku, Ibuku, buk ku,
atau mbok ku dalam bahasa Jawa. Tentunya tidak bisa dibenarkan dalam bahasa
manapun seorang suami yang memanggil istrinya dengan mamaku atau panggilan yang
lain dengan menambahkah ku diakhir kata. Lalu kenapa orang Indonesia dengan
enak memanggil ummi? Mungkin karena ini adalah bahasa asing. Tetapi
perlu digaris bawahi, di daerah aslinya sendiri yaitu di tanah Arab, panggilan ummi
tidak pernah diucapkan suami pada istrinya.
Ibnu Katsir didalam
kitab tafsirnya, beliau berpendapat bahwa memanggil istri dengan panggilan yang
mengandung makna wanita yang haram dinikahi hukumnya haram. Contohnya,
memanggil istri dengan kata Ukhti (saudariku) A’mati (bibiku/saudari
bapak) kholati (bibiku/saudari ibu) apalagi ummi. Pendapat ini
beliau sandarkan pada sebuah hadist, dimana ada seorang laki-laki memanggil
istrinya ukhti, lalu beliau berkata pada laki-laki itu “Apakah dia
suadarimu?” sebuah pertanyaan yang menunjukkan pengingkaran (lihat tafsir Ibnu
Katsir dalam surat Mujadillah). Berikutnya, perlu saya sampaikan sebuah rumusan
penting dalam Islam bahwa “Tujuan yang baik tidak membolehkan wasilah yang
haram”. Jadi, niat yang baik tidak menghalalkan hal-hal yang dilarang oleh
Allah dan RasulNya. Seorang bapak yang berniat memberi nafkah anak dan istrinya
tentu tetap diharamkan mencuri. Begitu juga seorang suami yang berniat
membahasakan anak dengan bahasa Arab supaya terkesan Islami tentu tetap harus
menjaga rambu-rambu Islam.
Pada pembahasan ini,
tentu ada seorang sahabat wanita yang Umar bin Khotob kholifah kedua r.a
menghormatinya begitu juga kita tidak boleh melupakannya, ia adalah Khaulah binti Tsa’labah yang
mengadukan perlakuan buruk suaminya Aus bin Al Shamit. Pada suatu hari Aus
mendhihar Khaulah tetapi tanpa bermaksud menceraikan, lalu beliau menghadap
Rasulullah SAW dan mengadu kepada Beliau. Kemudian Allah menurunkan surat
Mujadillah yang menjelaskan tentang hukum Dhihar dengan lengkap. Wallahu A’lam.
Tulisan
yang saya tunda sejak tahun 2007 an ini tidak memiliki tendesi apapun kecuali
supaya keluarga para aktivis dan ustadz bisa sejalan dengan nilai-nilai syar’i
yang mereka perjuangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar