Selamat datang di blog membangun peradaban. silahkan tulis kritik dan saran

Pages

Jumat, 22 Mei 2015

“Yang Islami” Melanggar Syar’i



 “Yang Islami”  Melanggar Syar’i

Semangat kaum muslim Indonesia untuk menampakkan sisi keislaman dalam kehidupan sehari-hari mengalami peningkatan yang tajam. Dari mulai pemakaian hijab, pemberian nama Arab pada anak dan juga pemanggilan Umi kepada ibu-ibu keluarga muslim. Hari ini, hampir bisa kita pastikan bahwa penyebutan umi untuk memanggil seorang ibu berasal dari keluarga muslim, lebih special lagi, sudah masuk pada tingkatan keluarga ustad atau activist muslim. Bahkan seolah-olah, panggilan itu (umi) adalah panggilan yang islami karena sudah menjadi tradisi yang dilakukan oleh sebagian besar keluarga muslim.
Panggilan terhadap ibu yang pernah dipopulerkan oleh Hadad Alwi dan Sulis ini, ternyata menjadi permasalahan yang besar bagi orang Arab dan tentunya Syari’at Islam. Saya sendiri baru menyadari pada tahun 2007 an, ketika saya dan teman saya dr. Ihsan Jaya mengadakan halaqah bersama Syaikh Mesir yang ditugaskan Al Azhar University di Pon Pes As Salam.
Di salah satu kunjungan kami kerumah beliau, Syaikh Ahmad menceritakan bahwa beliau pernah berkunjung di salah satu rumah seorang aktivis Islam, beliau sangat kaget, ketika ikhwan itu memanggil istrinya dengan sebutan umi. Beliau langsung menegur ikwan tersebut bahwa panggilan ummi oleh suami kepada istrinya adalah dhihar yang dilarang dalam Islam.
Dhihar adalah salah satu cara orang Arab jahiliyah menceraikan istri-istri mereka dengan mengatakan bahwa kamu seperti punggung Ibuku. Istilah dhihar berasal dari kata dhuhrun (yang berarti punggung). Karena punggung seorang Ibu haram bagi anak, maka ketika seorang suami menyamakan istrinya dengan punggung Ibu mereka, berarti dia mengharamkan istri baginya yang berarti cerai. Dalam Islam, tingkatan dhihar tidak sampai pada derajat cerai, karena suami tidak bermaksud menceraikan, tetapi Islam tetap menghukum suami yang melakukan dhihar dengan mewajibkan membayar kafarah berupa pembebasan budak, jika tidak mendapatkan budak (apalagi zaman sekarang) maka ia harus berpuasa dua bulan terus-menerus tanpa ada jeda, jika tidak mampu, maka ia harus memberi makan 60 orang miskin. Ada catatan menarik dari kafarah ini, ketiga jenis kafarah ini bukanlah pilihan, melainkan urutan yang artinya, jika mendapat dan mampu membebaskan budak ia tidak boleh memilih nomor 2 apalagi nomor 3.
Tidak kah sudah menjadi kebiasaan orang Indonesia, seorang suami memanggil istrinya dengan berkata: “bune, buk e, mama, mbok e, emak e”. mungkin sebagian kita berfikir seperti itu. Lalu apa yang salah, memanggil istri dengan berkata “ummi”? bagi yang belajar bahasa Arab, tentu sangat mudah membedakan antara ummu dan ummi. Panggilan umi tidak bisa disamakan dengan panggilan “bune, buk e, mama, mbok e atau panggilan yang lain dalam tradisi orang Indonesia”. Apa bedanya? Di dalam kata ummi, terdapat huruf “ي“ yang paling tepat diartikan ku dalam bahasa Indonesia. Kata yang sepadan dengan ummi adalah mamaku, Ibuku, buk ku, atau mbok ku dalam bahasa Jawa. Tentunya tidak bisa dibenarkan dalam bahasa manapun seorang suami yang memanggil istrinya dengan mamaku atau panggilan yang lain dengan menambahkah ku diakhir kata. Lalu kenapa orang Indonesia dengan enak memanggil ummi? Mungkin karena ini adalah bahasa asing. Tetapi perlu digaris bawahi, di daerah aslinya sendiri yaitu di tanah Arab, panggilan ummi tidak pernah diucapkan suami pada istrinya.
Ibnu Katsir didalam kitab tafsirnya, beliau berpendapat bahwa memanggil istri dengan panggilan yang mengandung makna wanita yang haram dinikahi hukumnya haram. Contohnya, memanggil istri dengan kata Ukhti (saudariku) A’mati (bibiku/saudari bapak) kholati (bibiku/saudari ibu) apalagi ummi. Pendapat ini beliau sandarkan pada sebuah hadist, dimana ada seorang laki-laki memanggil istrinya ukhti, lalu beliau berkata pada laki-laki itu “Apakah dia suadarimu?” sebuah pertanyaan yang menunjukkan pengingkaran (lihat tafsir Ibnu Katsir dalam surat Mujadillah). Berikutnya, perlu saya sampaikan sebuah rumusan penting dalam Islam bahwa “Tujuan yang baik tidak membolehkan wasilah yang haram”. Jadi, niat yang baik tidak menghalalkan hal-hal yang dilarang oleh Allah dan RasulNya. Seorang bapak yang berniat memberi nafkah anak dan istrinya tentu tetap diharamkan mencuri. Begitu juga seorang suami yang berniat membahasakan anak dengan bahasa Arab supaya terkesan Islami tentu tetap harus menjaga rambu-rambu Islam.
Pada pembahasan ini, tentu ada seorang sahabat wanita yang Umar bin Khotob kholifah kedua r.a menghormatinya begitu juga kita tidak boleh melupakannya,  ia adalah Khaulah binti Tsa’labah yang mengadukan perlakuan buruk suaminya Aus bin Al Shamit. Pada suatu hari Aus mendhihar Khaulah tetapi tanpa bermaksud menceraikan, lalu beliau menghadap Rasulullah SAW dan mengadu kepada Beliau. Kemudian Allah menurunkan surat Mujadillah yang menjelaskan tentang hukum Dhihar dengan lengkap. Wallahu A’lam.
Tulisan yang saya tunda sejak tahun 2007 an ini tidak memiliki tendesi apapun kecuali supaya keluarga para aktivis dan ustadz bisa sejalan dengan nilai-nilai syar’i yang mereka perjuangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pendidikan Tinggi Bahasa Arab

Kegiatan Dakwah Masjid Zakaria

Info UMS