KARTOSUWIRJO dan NII
Oleh Warsito, S.Pd, M.P.I
A. Latar
Belakang
Perjuangan
umat Islam untuk menegakkan agama dan hukum islam dalam tataran undang-undang
sudah berlangsung bertahun-tahun. Perkembangan Islam di Indonesia tidak
terlepas dari para ulama’ zaman dahulu atau sering disebut ‘wali’. Perjuangan
mereka dalam mendakwahkan Islam tampak dengan berdirinya kerajaan-kerajaan
Islam zaman dahulu. Di pulau Sumatra terdapat kerajaan Samudra Pasai, di
Sulawesi berdiri kerajaan Gua, di Kalimantan berdiri kerajaan Banjar dan di
Jawa berdiri kerajaan Mataram, demak, dan pajang. Kerajaan-kerajaan ini secara
undang-undang banyak mengadapsi hukum-hukum Islam meskipun belum seratus
persen. Pada zaman kerajaan-kerajaan Islam, ajaran islam memberi pengaruh kuat
dalam tradisi kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini bisa dilihat penggunaan
bahasa yang banyak mengambil kota kata Arab yang kemudian di alih fungsikan
menjadi bahasa Indonesia. Seperti nama hari, perabutan rumah (kursiyun) ,
istilah pemerintahan (rakyat, musyawarah, adil dll).
Ketika
belanda datang ke Indonesia dan melakukan tindakan-tindakan yang tidak
manusiawi, para raja kerajaan Islam melakukan perlawanan. Hal ini bisa di lihat
nama-nama pahlawan yang di kenang oleh rakyat Indonesia, sebagai contoh Sultan
Hasanuddin, Diponegoro, Imam Bonjol, Cut nya Dien dll. Perlawanan yang
dilakukan oleh pemimpin-pemimpin umat Islam menunjukkan ketidak relaan mereka
di pimpin pemerintah kafir atau ketidak
relaan mereka dengan system yang berkembang saat itu. Demikianlah perjuangan
umat Islam sampai Indonesia mendapatkan kemerdekaannya.
Setelah
Indonesia merdeka pada 18 Agustus 1945 dan di proklamirkan oleh presiden yang
pertama ir. Soekarno perjuangan umat Islam tidak berhenti. Mereka menuntut
kepada pemerintah supaya diberlakukan hukum Islam untuk mengatur mereka.
Perjuangan umat Islam sempat menemukan titik terang ketika tim pembuat
undang-undang memasukkan syari’at Islam sebagai undang-undang positif. Tetapi
dalam perjalanannya undang-undang ini tidak berjalan.
Salah
satu kelompok umat Islam yang melakukan perlawanan dan menuntut penegakkan
syari’at islam adalah NII (Negara Islam Indonesia) yang di pimpin Kartosuwiryo.
Pergerakan ini mendeklarasikan berdirinya Negara Islam di Jawa Barat. Dalam
perjalannya, kelompok ini bisa dikalahkan oleh pemerintah. Bagaimana, kapan,
dan dimana NII bergerak akan dibahas pada makalah ini.
B. Batasan
masalah
Permasalahan
pergerakkan NII sangat luas dan tidak mungkin di bahas semua dalam makalah ini.
Untuk itu, penulis membatasi pembahasan pada
1. Riwayat
hidup Kartosuwirjo
2. Hal-hal
yang membentuk pemikiran Kartosuwirjo
3. Model
gerakan Kartosuwirjo
4. Berdiri
dan perkembangan NII
C. Sejarah
Kehidupan dan Pergerakan Kartosuwirjo
1. Riwayat
Hidup dan Pendidikan Kartosuwirjo
Kartosuwirjo
lahir pada tanggal 7 Januari 1907 di Cepu, sebuah kota kecil antara Bojonegara
dan Blora. Kartosuwirjo memiliki nama lengkap Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo.
Ayahnya bernama Kartosuwirjo, seorang mantri yang mengkoordinasi para pedagang
candu di Pamotan dekat Rembang pada pemerintah kolonial Belanda. Pada zaman
itu, seorang mantri memiliki kedudukan yang sejajar dengan sekretaris distrik.
Sebagai seorang pribumi, jabatan mantri adalah jabatan yang tinggi sehingga
memiliki pengaruh kuat di masyarakat.[1]
Pada
tahun 1911, Kartosuwirjo masuk sekoah rakyat di Pamotan. Sekolah yang di
sediakan Belanda untuk pribumi. Ketika menginjak kelas 4, Kartosuwirjo pindah
sekolah ke HIS (Hollandsch Inlandsche School) di Rembang. 1919 ketika orang
tuanya pindah ke Bojonegara dia juga pindah ke ELS (Europesche legere school).
Karena level ELS lebih tinggi daripada HIS maka ketika dia masuk ELS dia harus
turun 1 level.
Dalam
perjalanan hidup Kartosuwirjo di Bojonegara merupakan langkah awal yang
mempengaruhi pola kehidupannya. Di Bojonegara, dia bertemu Notodiharjo, seorang
tokoh agama yang mengajarinya nilai-nilai keagamaan modern. Notodiharjo
merupakan tokoh penting dalam membentuk pemikiran keislaman Kartosuwirjo.
Setelah menyelesaikan pendidikan di ELS pada tahun 1923 dia pergi ke Surabaya
dan melanjutkan pendidikannya di sekolah kedokteran di NIAS (Nederlandsch
Indische Artsen School). Pada tahun keempat dia dikuarkan dari NIAS karena
keterlibatannya dalam pergerakan politik. Kartosuwirjo di tuduh mengikuti
gerakan komunis karena memiliki buku-buku komunis.[2]
2. Kehidupan
Politik Kartosuwirjo
Kehidupan
pergerakan politik Kartosuwirjo dimulai pada tahun 1923. Pada tahun itu
dia bergabung dengan Jong Java.
Kartosuwirjo aktif dalam kegiatan organisasi ini dan dia menjadi ketua
organisasi wilayah Surabaya. Beberapa tokoh muslim yang berada dalam Jong Java
keluar karena perbedaan arahan organisasi dengan kelompok nasionalis. Para
tokoh muslim ini kemudian membentuk Jong Islamieten Bond. Dengan semangat
keislamannya, Kartosuwirjo masuk Jong Islamieten Bond dan aktif di dalamnya dan
menjadi ketua wilayah Surabaya. Kehidupan dalam JIB memberikan pengaruh yang
besar dalam pemikiran Kartosuwirjo. Dalam JIB dia bertemu dengan Agus Salim dan
Oemar Sa’id Tjokroaminoto. Tjokroaminoto seorang pemimpin PSI (Partai Serikat
Islam) yang karismatik dan memiliki cita-cita membuat negara Islam yang memberi
pengaruh pemikiran Kartosuwirjo.
Pada
tahun 1927, Kartosuwirjo dikeluarkan dari NIAS dan JIB kemudian dia kembali ke
Bojonegara dan menjadi guru untuk memberi nafkah ibunya yang ditinggal
meninggal ayahnya pada 1925. Pada bulan september 1927, Kartosuwirjo kembali ke
Surabaya dan dia menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto. Pada tahun yang
sama, Tjokroaminoto pindah ke Cimahi dekat Bandung. Perpindahan Tjokroaminoto
ke Cimahi di temani Kartosuwirjo dan di Cimahi Kartosuwirjo bertemu dengan
soekarno. Dalam pertemuan itu, Mereka berdua banyak mendiskusikan tentang
politik, bahkan ketika Kartosuwirjo diinterogasi pada tahun1962, dia mengatakan
bahwa dia adalah penasehat politik Soekarno pada masa itu.
Pada
tahun 1929, Kartosuwirjo menjadi sekretaris umum partai serikat islam dan
menjadi redaktur koran harian Fajdar Asia. Ketika menjadi redaktur,
Kartosuwirjo memiliki kesempatan menulis artikel-artikel yang mengkritisi
penjajahan. Pada tahun yang sama pada bulan Desember, dia menikah dengan dewi
siti Kalsum putri Ajeng Andiwisastera di Malangbong. [3]
Partai
Serikat Islam Indonesia tempat dimana Kartosuwirjo aktif dalam berpolitik
didirikan oleh Haji Seman Budi pada tahun 1912 di Solo. Partai ini dibentuk
untuk menampung para tokoh yang memiliki potensi untuk berjuang tanpa melihat
background tokoh yang bergabung. Bahkan ketika partai ini di pimpin oleh
Tjokroaminoto, kebijakan partai tidak berubah. Kebijakkan ini menjadi bumerang bagi
partai karena terjadi perselihan di tubuh partai. Perpecahan partai ini terjadi
pada tahun 1920, ketika sayap kiri partai yang dipimpin Samaun keluar dari
partai dan membuat partai baru PKI (Partai Komunis Indonesia).[4]
Pada
tahun 1934 Tjokroaminoto meninggal. Kartosuwirjo melanjutkan karya
Tjokroaminoto bersama dengan Harsono Tjokroaminoto yang bersama Arab. Ketika
menerjemahkan karya Tjokro, kedua orang ini meresa heran ketika mereka tidak
menemukan tentang kedudukan PSII dalam gabaran yang ideal bagi umat Islam.
Kedudukan
ketua partai PSII beralih kepada Abikusno dan Kartosuwirjo sebagai wakil ketua
pada tahun 1936. Ketika kedua tokoh Islam ini berpasangan, mereka memberi corak
pemikiran Islam pada PSII, tetapi pemikiran mereka berbenturan dengan tokoh
PSII yang lain antara lain, Agus Salim dan M. Roem. Abikusno dan Kartosuwirjo
dalam perjuangannya tidak setuju dengan kebijakkan koorperasi dengan pemerintah
sedangkan Agus Salim dan M. Roem tetap mengharap arahan politik PSII tetap
kooperasi dengan kolonial.
Abikusno
dan Kartosuwirjo menyerukan kepada seluruh cabang partai untuk menggunakan
politik hijrah atau non-kooperasi. Mereka berpendapat bahwa dalam
memperjuangkan politik harus sesuai dengan ajaran Rasul bukan perjuangan versi
barat. Mereka juga mengancam pengurus cabang bahwa mereka akan dipecat jika
mengikuti pemikiran Agus Salim. Sedangkan Agus Salim dan M. Roem tetap
menyerukan politik kooperasi supaya gerak mereka dalam bergerak lebih leluasa.
Agus Salim dan M. Roem kemudian membentuk “Barisan Penyadaran PSII”.
Pada
tahun 1939, Abikusno berpendapat perlunya bergabung dengan GAPI (Gabungan
Politik Indonesia) tetapi Kartosuwirjo tetap berpendapat supaya PSII tetap pada
haluannya yaitu politik hijrah yang tanpa kompromi. Karena sikapnya yang tidak
berjalan sesuai dengan kehendak pemimpin maka Abikusno memecat Kartosuwirjo.
Bersama dengan orang yang sealiran dengannya, Jusuf Taudjiri dan Kamran,
Kartosuwirjo membentuk Komite Pembela Kebenaran PSII (KPK PSII).
Pada
bulan Maret 1940, Kartosuwirjo tanpa bantuan dan persejuan PSII membuka lembaga
pendidikan Kader “Suffah” di dekat Malangbong. Lembaga suffah tersebut dia
bentuk dalam gaya sebuah pesantren tradisional, di mana siswanya tinggal dalam
pondok. Dalam mendidik mereka, kartosuwirjo menggunakan metode Tjokroaminoto
dimana dia menggabungkan pendidikan agama dan umum. Dari pendidikan Suffah ini, kelak muncul pengikut yang akan
memperjuangkan agama Islam.[5]
Pada
tanggal 3 Maret 1942, Jepang masuk tanah air dan mengusir Belanda. Setelah
Jepang terlibat dalam perang dunia ke-dua, untuk mempertahankan kekuasaan
mereka di Indonesia mereka melatih pemuda Indonesia untuk menjadi tentara
profesional. Sebagian besar alumni perguruan suffah ikut pelatihan dan menjadi
tentara Hizbullah.
3. Kartosuwirjo
da n NII
Umat
Islam Indonesia sempat bersatu di bawah bendera Masyumi, di mana
Kartosuwirjo menjadi sekretaris eksekutif. NU dan Muhammadiyah pun ikut
bergabung di dalamnya. Tetapi ketika terjadi agresi pasukan kedua pasukan
Belanda menjadi pemicu berdirinya NII.
Ketika
belanda menyerang Indonesia, kemudian pemerintahan di Jakarta di pindahkan
ke Yogyakarta. Setelah di tanda tangani perjanjian Renville antara pemerintah
indonesia dengan Belanda. Dimana dalam perjanjian tersebut erisi antara lain
genjatan senjata dan pengakuan garis demarkasi van Mook. Sementara pemerintahan
RI harus mengakui kedaulatan Belanda atas Indonesia, maka hal itu menjadi pil
pahit bagi Republik. Semua daerah yang strategis di kuasai Belanda dan sesuai
kesepakatan pasukan Republik harus menarik semua pasukan dari daerah kekuasaan
Belanda.
Pasukan
Siliwangi yang menjadi pasukan resmi Republik harus meninggalkan jawa Barat dan
pergi menuju jawa Tengah. Soekarno menyebut perpindahan pasukannya sebagai
“Hijrah” tetapi istilah ini ditolak oleh laskar Hisbullah dan Sabilillah. [6]
Pada
tahun 1949 Indonesia mengalami perubahan politik besar-besaran. Pada saat itu,
Jawa Barat mengalami kekosongan kekuasaan pemerintahan, Kartosuwirjo
mengundurkan diri dari kepengurusan Masyumi cabang Jawa Barat dan memproklamasikan
tegaknya negara Islam. Dia satu-satu pemimpin politik yang tidak menarik diri
ke Jogya tetapi tetap dimana dia berada. Dia memimpin pengikutnya dan menentang
perjanjian dengan Belanda. Kuatnya pendirian Kartosuwirjo, diikuti oleh para
ulama sehingga pengikutnya menjadi banyak.
Ulama-ulama
dan para pejuang yang lain ikut bergabung dan pergi ke Gunung Cupu untuk
mencari perlindungan. Karena selain mereka di kejar oleh pasukan belanda mereka
juga di musuhi oleh komunis. Setelah terbentuknya negara Islam Indonesia, di
negara ini terjadi perang segi yaitu Pemerintah Republik, NII, dan Belanda.[7]
Pada
13 Juli 1949, Belanda menarik pasukan dari Indonesia setelah menghadapi perang
gerilya rakyat Indonesia, baik TNI maupun TII. Setelah itu, kabinet mengadakan
sidangnya yang pertama setelah berakhirnya perang kemerdekaan. Setelah sidang
kabinet pertama Republik indonesia pada bulan Juli, M. Hatta menulis surat
kepada Kartosuwirjo supaya dia mau menghentiksn peperangan dengan pasukan
Republik. Tetapi surat itu diabaikan oleh Kartosuwirjo.
M.
Hatta meminta M. Natsir untuk menulis surat kepada Karosuwirjo dan membujuknya
supaya menghentikan peperangan. Tetapi surat itu datang 3 hari setelah
Kartosuwirjo mendeklarasikan NII pada tanggal 7 Agustus 1949. Sebelum deklarasi
ini, sebenarnya NII sudah tegak dan memiliki wilayah di Jawa Barat, tetapi
Kartosuwirjo perlu sebuah pengakuan dari negara lain maka dia mendeklarasikan
secara resmi NII. Hal ini dilakukan oleh Kartosuwirjo dengan anggapan bahwa
perginya M. Hatta ke Den Haag sebagai situasi Vakum kekuasaan.[8]
4.
Berakhirnya Negara Islam Indonesia
Pergelokan
peperangan antara pemerintah Indonesia dengan para pejuang yang dulu melawan
Belanda terjadi tidak hanya di Jawa Barat tetapi juga terjdi di Sulawesi dan
Sumatra.[9]
Untuk mengatasi gejolak perang saudara ini, TNI megubah strategi perangnya
dengan cara melibatkan rakyat. Bantuan kepada rakyat di daerah konflik
disalurkan dengan harapan rakyat tidak mendukung para pejuang itu.
Strategi
perang ini juga diterapkan untuk mengalahkan Kartosuwirjo. Tidak hanya
mendekati penduduk dengan bantuan, pemerintah juga menjanjikan amnesti dan
pekerjaan kepada seluruh anggota DI yang menyerah. Program ini begitu efektif
dengan menyerahnya anggota DI. Ketika posisi tentara DI yang terjepit tidak
membuat Kartosuwirjo menyerah. Dia tetap melanjutkan peperangan. Pada tanggal 4
Juni 1962 Kartosuwirjo tertangkap di wilayah antara gunung Sungkar dan gunung
Geber. Pada tanggal 7 Agustus 1962 kartosuwirjo dipindahkan dari Bandung ke
Jakarta.[10]
5. NII
Setelah Kartosuwirjo
Tertangkapnya
Kartosuwirjo tidak menghilangkan cita-cita berdirinya Negara Islam Indonesia.
Kelompok-kelompok kecil yang menamakan diri sebagai penerus NII Kartosuwirjo
bermunculan. Keadaan ini sangat rentang akan penyusupan intelijen yang
melakukan tindakan yang tidak Islami sehingga mencoreng sejarah emas NII.[11]
Tindakan
penyelundupan ke tubuh NII yang masih bertahan saat ini adalah NII KW IX. Hal
ini berawal pada tahun 1986. Ketika pihak intelijen memasukkan Prawoto alias
Abu Toto Ke NII.[12]
Dengan fasilitas pemerintah yang diberikan kepada Abu Toto akhirnya dia mampu
mendirikan pondok pesantren yang megah “Al-Zaytun” di Kabupaten Indramayu Jawa
Barat. Tidak hanya megah, pesantren ini juga terbesar dan termegah di Asia
Tenggara.[13]
D.
Kesimpulan
a. Yang mempengaruhi pengaruh
1. Notodihardjo
2. Oemar
Said Tjokroaminoto
3. Marko
Kartodikromo
4. Bekerja
dalam koran Harian Fadjar Asia
b.
Kartosuwirjo seorang pejuang
c.
Negara Islam Indonesia Syah sebagai sebuah negara karena memiliki syarat-syarat
sebagai sebuah negara. (wilayah, ratyat, hukum, pemerintahan) tetapi bisa
dikalahkan pasukan Rebuplik Indonesia.
Daftar
Pustaka
Sabili Edisi
Khusu. Sejarah Emas Muslim Indonesia. 2003
Umar Abduh.
1422 h. Pesantren Al-Zaytun Sesat? Darul Falah. Jakara Timur
Holk H.
Dengel. 1995. Darul Islam dan Kartosuwirjo. Jakarta. Sinar Harapan
An-Najah
Edisi Khusus. Jejak-jejak Jihad para Mujahidin. solo
[1]
Tim majalah An-Najah edisi khusus. 2008. Solo. Hal 24
[2]
Holk H. Dengel. 1995. Darul Islam dan Kartosuwirjo. Jakarta. Sinar Harapan. Hal
7-10
[3]
Ibid 11
[4]
Ibid. h 16
[5]
Ibid. h 16-26
[6]
Tim majalah An-Najah edisi khusus. 2008. Solo. Hal 227
[7]
Holk H. Dengel. 1995. Darul Islam dan Kartosuwirjo. Jakarta. Sinar Harapan. Hal
90
[8]
Ibid. h. 93
[9]
Letjen. TNI (Pur) Z.A. Maulani. Rahim yang Melahirkan TNI. Sabili Edisi Khusus.
2003. Hal. 63
[10]
Ibid. h. 194
[11]
Umar Abduh. 1422 h. Pesantren Al-Zaytun Sesat? Darul Falah. Jakara Timur. Hal
187
[12]
Ibid. h. 189
[13]
Ibid. h. 1
Karto suwiryo pelaku sejarah yang terdzalimi.
BalasHapus